Peramalan permintaan SDM, meliputi penentuan jumlah,
keahlian, dan lokasi karyawan yang akan diperlukan perusahaan pada waktu yang
akan datang dalam rangka untuk mencapai sasaran organisasi (Mondy, 2008).
Sebelum perusahaan dapat menentukan kebutuhan SDM tersebut maka perusahaan
harus terlebih dahulu dapat meramalkan permintaan terhadap barang dan jasa
perusahaan. Selanjutnya, hasil dari peramalan terhadap barang dan jasa tersebut
digunakan untuk menentukan berapa orang yang diperlukan untuk melakukan aktivitas-aktivitas
yang diperlukan untuk memenuhi permintaan produk perusahaan. Contoh pada
perusahaan yang membuat personal komputer, aktivitas dapat dinyatakan dalam hal
jumlah unit komputer yang diproduksi, jumlah pemesanan, jumlah voucher
yang diproses, atau berbagai aktivitas lainnya. Misal, untuk pembuatan 10.000
komputer notebook setiap bulan akan memerlukan 60.000 jam kerja
perakitan selama 120 jam per bulan. Dengan membagi 60.000 jam kerja dengan 150
jam kerja per bulan diperoleh 400 orang perakit yang diperlukan setiap
bulannya. Dengan cara perhitungan yang sama dapat digunakan untuk pekerjaan
lain yang dibutuhkan untuk memproduksi dan memasarkan komputer.
Beberapa teknik untuk peramalan permintaan SDM saat ini telah
banyak digunakan oleh para profesional SDM. Beberapa di antaranya dijelaskan
oleh Mondy (2008) sebagai berikut.
1. Peramalan Basis Nol
(Zero-Base Forecasting)
Metode ini menggunakan level pekerjaan organisasi pada saat
ini sebagai titik awal untuk menentukan kebutuhan pengangkatan karyawan di masa
mendatang. Pada prinsipnya, prosedur yang sama dengan yang digunakan untuk
perencanaan SDM adalah untuk penganggaran basis nol, yaitu setiap anggaran
harus ditetapkan setiap tahun. Jika seorang karyawan berhenti, diberhentikan
atau meninggalkan perusahaan karena suatu sebab tertentu maka posisinya tidak
secara otomatis diisi. Suatu analisis harus dilakukan untuk menentukan apakah
perusahaan dapat membenarkan pengisian tersebut. Sering kali, suatu posisi yang
telah ditinggalkan oleh seorang karyawan dibiarkan tetap kosong dan
pekerjaannya dibagi-bagi di antara karyawan yang tersisa. Perhatian yang
adil/seimbang diberikan untuk menciptakan posisi baru saat diperlukan. Kunci
dari peramalan basis nol adalah analisis dari kebutuhan SDM dan perencanaan
yang menyeluruh termasuk juga kegiatan outsourcing dan alternatif lain
dalam pengangkatan karyawan.
2. Pendekatan
Bawah-Atas (Bottom-Up Approach)
Pada pendekatan ini peramalan kebutuhan dimulai dari level
paling bawah dan dilakukan pada setiap level dalam organisasi secara
berturut-turut sehingga akhirnya menghasilkan peramalan kebutuhan karyawan
secara keseluruhan.
Pendekatan ini didasarkan pada alasan bahwa manajer di
masing-masing unit yang paling banyak mengetahui tentang tuntutan pekerjaannya.
Dimulai dengan unit kerja level terbawah, yaitu masing-masing manajer unit
membuat suatu estimasi kebutuhan personel untuk periode waktu tertentu yang
dicakup melalui siklus perencanaan. Kemudian masing-masing level manajer yang
lebih tinggi membuat estimasi kebutuhannya dengan menyatukan masukan dari
masing-masing level di bawahnya. Hasil akhirnya merupakan peramalan kebutuhan
total organisasi secara keseluruhan. Dalam proses menuju ke level yang lebih
tinggi, sering kali terjadi interaksi yang sangat intens tentang perkiraan kebutuhan yang telah dihasilkan
oleh level sebelumnya, yaitu didiskusikan atau dinegosiasikan, bahkan
diestimasi ulang bersama-sama dengan level manajer yang lebih tinggi. Aspek
interaktif ini merupakan salah satu keunggulan dari pendekatan ini karena
memaksa para manajer untuk melakukan justifikasi terhadap perkiraan kebutuhan
stafnya.
3. Hubungan antara
Volume Penjualan dengan Jumlah Kebutuhan Karyawan
Salah satu prediktor level pekerjaan yang paling bermanfaat
adalah volume penjualan. Hubungan antara permintaan dengan kebutuhan karyawan
adalah positif. Dalam Gambar 5.2 volume penjualan perusahaan ditunjukkan pada
sumbu horizontal dan jumlah karyawan yang secara nyata dibutuhkan ditunjukkan
pada sumbu vertikal. Pada Gambar 5.2 tersebut dapat dilihat jika penjualan
turun maka jumlah karyawan juga turun. Dengan menggunakan cara yang sama para
manajer dapat memperkirakan jumlah karyawan yang dibutuhkan pada level
permintaan yang berbeda-beda.
4. Model Simulasi
Ini merupakan teknik peramalan untuk eksperimentasi dengan
situasi dunia nyata melalui pemodelan matematis.
Model adalah suatu abstraksi dari dunia nyata. Dengan
demikian, model simulasi adalah suatu usaha untuk menggambarkan situasi dunia
nyata melalui logika matematis untuk memprediksi apa yang akan terjadi.
Simulasi membantu manajer membuat keputusan tanpa harus memiliki konsekuensi
dalam dunia nyata dengan banyak mengajukan pertanyaan “apa dan jika”, seperti
berikut.
a. Apa yang akan
terjadi jika kami menempatkan 12% dari seluruh tenaga kerja untuk bekerja
lembur?
b. Apa yang akan
terjadi jika pabrik menggunakan dua shift atau tiga shift?
Di dalam manajemen SDM, model simulasi dapat dikembangkan
untuk menggambarkan hubungan antara level pekerjaan dengan banyak variabel yang
lain. Tujuan utama model adalah memberi kesempatan kepada para manajer untuk
memperoleh banyak pemikiran terhadap problema tertentu sebelum mengambil
keputusan secara nyata.
C. Peramalan Ketersediaan SDM
Untuk menentukan apakah perusahaan akan dapat menjamin
karyawan sesuai dengan keahlian yang dibutuhkan serta menentukan dari mana
sumber tenaga kerja diperoleh maka diperlukan peramalan ketersediaan SDM
(Mondy, 2008). Melalui peramalan ketersediaan SDM dapat membantu menunjukkan
apakah karyawan yang dibutuhkan dapat dipenuhi dari dalam perusahaan atau dari
luar perusahaan, atau dari keduanya atau bahkan tidak tersedia sama sekali pada
sumber-sumber yang layak. Perhatikan contoh kasus di bawah ini:
Sebuah perusahaan besar di daerah
Banten sedang bersiap-siap untuk memulai mengoperasikan pabrik barunya. Para
analis telah menentukan bakal ada banyak permintaan produk baru dalam jangka
panjangnya. Pendanaan telah tersedia dan peralatan juga sudah tersedia di
tempat. Namun demikian, kegiatan produksi telah 2 tahun ini belum dapat
dilakukan. Rupanya manajemen telah membuat kesalahan kritis, yaitu dia telah
melakukan studi tentang sisi permintaan SDM tetapi tidak pada sisi pasokannya. Sehingga
ada ketidakcukupan persediaan tenaga kerja yang berkualitas pada pasar tenaga
kerja lokal untuk menjalankan pabrik barunya. Para tenaga kerja baru tersebut
harus menerima pelatihan secara ekstensif terlebih dahulu sebelum berpindah
kepada pekerjaan barunya.
Ilustrasi di atas memberikan satu contoh yang sangat penting
tentang keterlibatan manajemen SDM dalam perencanaan strategik perusahaan.
Sebelum mencari calon tenaga kerja dari sumber eksternal,
perusahaan perlu mencari terlebih dahulu dari sumber internalnya. Penentuan
pasokan tenaga kerja internal memerlukan analisis rinci mengenai berapa banyak
tenaga kerja yang saat ini berada dalam berbagai macam kategori jabatan atau
berapa banyak tenaga kerja yang memiliki keahlian khusus. Selanjutnya, dilakukan
modifikasi terhadap analisis tersebut untuk merefleksikan perubahan yang
diharapkan terjadi dalam beberapa waktu ke depan sebagai hasil dari
pemberhentian, promosi jabatan, transfer, perpindahan secara sukarela, dan
pengunduran diri oleh karyawan.
Untuk membantu dalam melakukan analisis pasokan secara
internal tersebut dapat digunakan prosedur statistika yang disebut matriks
transisi/transitional matrix (Noe, et al., 2007). Matriks
transisi adalah bagan yang memuat urutan kategori jabatan yang dipegang dalam
satu periode jabatan dan menunjukkan proporsi karyawan dalam masing-masing
kategori jabatan tersebut pada satu periode mendatang. Bagan tersebut
menjawab 2 pertanyaan, yaitu
“Kemanakah orang-orang yang telah berada pada setiap kategori jabatan itu akan
pergi?” dan “Darimanakah orang-orang yang saat ini berada pada setiap kategori
jabatan itu berasal?”. Tabel 5.1 merupakan contoh dari matriks transisi (Noe, et
al.,2007).
No
|
2009
|
2011
|
|||||||
(1)
|
(2)
|
(3)
|
(4)
|
(5)
|
(6)
|
(7)
|
(8)
|
||
(1)
|
Manajer
penjualan
|
0,95
|
|
|
|
|
|
|
0,05
|
(2)
|
Supervisi
penjualan
|
0,05
|
0,75
|
|
|
|
|
|
0,20
|
(3)
|
Tenaga
penjualan
|
|
0,10
|
0,55
|
|
|
|
|
0,35
|
(4)
|
Asisten
manajer pabrik
|
|
|
|
0,90
|
0,05
|
|
|
0,05
|
(5)
|
Manajer
produksi
|
|
|
|
0,10
|
0,75
|
|
|
0,15
|
(6)
|
Tenaga
perakitan
|
|
|
|
|
0,10
|
0,80
|
|
0,10
|
(7)
|
Klerek
|
|
|
|
|
|
|
0,70
|
0,30
|
(8)
|
Tidak
berada dalam organisasi
|
0,00
|
0,15
|
0,45
|
0,00
|
0,10
|
0,20
|
0,30
|
|
Sumber: Noe, R.A.,
Hollenbeck, J. R., Gerhart, B., dan Wright, P. M. (2007).
Contoh matriks transisi di atas merupakan contoh untuk sebuah
perusahaan suku cadang mobil. Kolom di sebelah kiri adalah daftar jabatan yang
dipegang pada tahun 2009; angka-angka di kolom sebelah kanan menunjukkan apa
yang terjadi terhadap karyawan pada tahun 2011. Baris pertama (1) menunjukkan
jabatan manajer penjualan maka angka-angka di bawah kolom (1) menggambarkan
tenaga kerja yang menjadi manajer penjualan sehingga baris pertama ke kanan
dapat dibaca, 95% tenaga kerja yang menjadi manajer penjualan pada tahun 2009
masih tetap menjadi manajer penjualan pada tahun 2011. Untuk 5% lainnya berada
pada posisi kolom (8) baris pertama, “Tidak berada dalam organisasi”, artinya
5% karyawan yang sudah tidak menjadi manajer penjualannya atau telah keluar
dari perusahaan.
Pada baris kedua adalah supervisi penjualan. Di antara mereka
yang menjadi supervisi penjualan pada tahun 2009, 5% nya dipromosikan menjadi
manajer penjualan, 75% tetap sebagai supervisi penjualan, dan 20% keluar
perusahaan. Selanjutnya, pada baris ketiga, 55% tenaga penjualan masih tetap
sebagai tenaga penjualan; 10% dipromosikan menjadi supervisi penjualan dan
sisanya 35% meninggalkan perusahaan. Dengan demikian, pola jabatan tersebut
juga dapat menggambarkan jalur karier karyawan, seperti dari tenaga penjualan
menjadi supervisi penjualan, dan supervisi penjualan menjadi manajer penjualan.
Selanjutnya, membaca pada kolom menurun memberikan jenis
informasi lain, yaitu sumber karyawan yang memegang posisi pada tahun 2011.
Pada kolom pertama, dapat dilihat bahwa sebagian besar manajer penjualan (95%) telah
memegang jabatan yang sama tiga tahun sebelumnya. Lima persen lainnya
dipromosikan dari posisi supervisi penjualan. Sebaliknya, pada kolom ketiga
hanya sekitar 55% telah memegang jabatan tenaga penjualan tiga tahun sebelumnya
dan hampir separuhnya diangkat dari luar perusahaan. Kondisi seperti itu
menekankan kepada perusahaan bahwa untuk mengisi posisi manajer penjualan
terutama dilakukan melalui promosi sehingga perencanaan untuk mengisi jabatan
manajer penjualan harus difokuskan pada penyiapan supervisi penjualan.
Sebaliknya, perencanaan untuk memenuhi kebutuhan tenaga penjualan harus
ditekankan pada perekrutan dan penyeleksian tenaga kerja dari luar perusahaan.
Peramalan Kekurangan SDM
Ketika perusahaan menghadapi kekurangan tenaga kerja maka perusahaan
harus mengintensifkan usahanya dalam menarik tenaga kerja yang diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan perusahaan. Ada beberapa tindakan yang mungkin dilakukan
oleh perusahaan untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja tersebut, di antaranya
dijelaskan sebagai berikut (Mondy, 2008).
1. Perekrutan secara
Kreatif
Menurut Mondy (2008), kondisi kekurangan personel sering kali
mengindikasikan bahwa perusahaan perlu menerapkan pendekatan baru dalam menarik
karyawan. Artinya, perusahaan mungkin perlu merekrut calon karyawan dari
wilayah geografi yang berbeda dari sebelumnya; atau perusahaan perlu
mengeksplorasi metode perekrutan baru; atau perusahaan perlu mencari tipe calon
karyawan yang berbeda.
2. Pemberian
Kompensasi
Perusahaan-perusahaan yang bersaing untuk mendapatkan
karyawan dalam situasi permintaan tenaga kerja yang tinggi mungkin perlu
bergantung pada pemberian insentif kompensasi. Pemberian hadiah adalah salah
satu metode yang paling jelas, namun metode ini akan memicu perang hadiah
sehingga pada akhirnya perusahaan tidak dapat bertahan dalam jangka lama. Untuk
itu, dibutuhkan bentuk penghargaan yang lebih cerdas agar dapat menarik calon
karyawan ke perusahaan, seperti empat hari kerja seminggu, jam kerja fleksibel,
bekerja paruh waktu atau pusat perawatan anak.
3. Program Pelatihan
Program pelatihan khusus mungkin diperlukan untuk menyiapkan
individu-individu yang sebelumnya belum pernah bekerja untuk mengisi posisi
tertentu di perusahaan. Pendidikan remedial dan pelatihan keterampilan adalah 2
tipe program yang dapat membantu menarik individu masuk ke dalam perusahaan
tertentu. Contoh, perusahaan kecil yang ingin mengembangkan pasarnya mengangkat
orang-orang dengan kualifikasi rendah untuk menjadi tenaga penjualnya melalui
pelatihan dasar tenaga penjual.
4. Penyesuaian Standar
Seleksi
Pendekatan lain untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja
adalah penurunan standar pekerjaan. Kriteria seleksi yang digunakan untuk
memilih karyawan tertentu mungkin harus dibedakan untuk menjamin bahwa jumlah
orang telah cukup tersedia untuk mengisi jabatan. Daripada menunggu seseorang
harus berpengalaman luas lebih dahulu, lebih baik perusahaan mengangkat tenaga
kerja yang telah berpengalaman dan melatihnya mengerjakan pekerjaan.
Di samping itu, ada beberapa strategi lain untuk mengatasi
kekurangan pasokan tenaga kerja, seperti kerja lembur, pekerja sementara, outsourcing,
mengurangi perputaran karyawan, dan inovasi teknologi (Noe, et al.,
2007).
Peramalan Surplus SDM
Apabila perbandingan antara kebutuhan dengan ketersediaan
tenaga kerja menunjukkan adanya surplus tenaga kerja maka beberapa tindakan
berikut dapat dilakukan.
1. Pengangkatan
Karyawan Terbatas
Perusahaan yang menerapkan kebijakan pengangkatan karyawan
terbatas berarti mengurangi angkatan kerjanya dengan tidak mengisi kembali
jabatan yang telah ditinggalkan oleh pemegang jabatan/pekerjaannya.
Pengangkatan tenaga kerja baru hanya akan dilakukan ketika kinerja organisasi
secara keseluruhan dapat dipengaruhi. Contoh, bagian pengendalian kualitas yang
terdiri dari 5 inspektur di mana satu di antaranya keluar pindah ke perusahaan
lain maka perusahaan tidak mengganti orang tersebut. Namun demikian, jika semua inspektur keluar maka perusahaan
perlu mengganti beberapa di antaranya, paling tidak untuk menjaga keberlangsungan
kegiatan.
2. Mengurangi Jam
Kerja
Perusahaan juga dapat mengurangi
tuntutan beban kerja dengan mengurangi jumlah jam kerja total. Daripada
melanjutkan 40 jam kerja per minggu, manajemen dapat memotong jam kerja setiap
karyawan menjadi, misalnya 30 jam per minggu. Pemotongan jam kerja ini umumnya
hanya untuk karyawan yang bekerja atas dasar jam-jaman, sedangkan untuk
manajemen dan profesional lain umumnya adalah karyawan bebas yang dibayar tidak
berdasarkan jam-jaman.
3. Pensiun Dini
Pemensiunan dini beberapa karyawan yang ada pada saat ini
adalah cara lain untuk mengurangi jumlah pekerja. Ada sebagian karyawan yang
merasa senang menerima pensiun lebih awal, tetapi sebagian yang lain merasa
enggan. Untuk karyawan yang enggan, barangkali akan rela menerima pensiun dini
jika mendapat paket pensiun secara total cukup menarik.
4. Perampingan (Downsizing)
Perampingan/downsizing adalah pengurangan jumlah
personalia terencana dengan tujuan meningkatkan kemampuan bersaing organisasi
(Noe, et al., 2007). Berbagai cara perampingan dilakukan perusahaan,
beberapa di antaranya dilakukan melalui berikut ini.
a. Mengganti tenaga
kerja dengan teknologi. Menutup pabrik yang sudah ketinggalan jaman,
otomatisasi atau memperkenalkan penggunaan teknologi baru dapat mengurangi
kebutuhan tenaga kerja. Di samping itu, sering kali penghematan biaya tenaga
kerja lebih besar dibanding biaya penggunaan teknologi baru.
b. Merger dan akuisisi. Pada waktu
dilakukan penggabungan perusahaan sering kali diperlukan lebih sedikit birokrasi sehingga perusahaan dapat memberhentikan
beberapa manajer dan staf ahli.
c. Pindah ke lokasi
yang lebih menguntungkan. Perusahaan dapat memindahkan lokasi perusahaan/pabrik
yang biaya tenaga kerjanya mahal ke lokasi yang lebih murah biaya tenaga kerjanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar